Rabu, 26 November 2008

Puisi gw

Bulan Kota Jakarta
Bulan telah pingsan
Mama, bulan telah pingsan
Menusuk tikaman beracun
Dari lampu - lampu Kota Jakarta
Dan gedung - gedung tak berdarah
Berpaling dari bundanya
Malu (AKU) Jadi Orang Indonesia
Di negeriku budi pekerti mulia masih ada,
Tapi dalam kehidupan sehari - hari
Bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi
Semuanya beda dari apa yang daku tangkap
Visual ini tak bisa dikelabu
Walau Audio dapat
Seratus Juta
Ummat manusia dan pengangguran berdiri hari ini
Seratus juta banyaknya, tampaknya olehmu wajah mereka
Di tengah mereka tak tahu aku akan berbuat apa
Kini kutundukkan kepala, karena
Ada sesuatu besar luar biasa
Hilang terasa dari rongga dada
Saudaraku yang sirna nafkah, tanpa kerja berdiri di sini
Saudara kita yang sempit rezeki, terbungkuk hari ini
Di belakang mereka tegak anak dan istri, berjuta - pula jumlahnya
Harapkan rezeki yang telah sirna
Genaplah ummat seratus juta
Mencarimu
Semenjak kutahu ada kata Tuhan,
Kucari Kau berpuluh tahun perjalanan hidup
Kusebut asma-Mu
Kulafadzkan desah-Mu
Namun lidahku kelu, hatiku kaku
Kutuntaskan kitab-Mu
Namun tak kutangkap makna-Mu
Kukunjungi beribu tempat suci
Namun, Keagungan-Mu tak kurasa
Dea
Namanya Dea
Lurus rambutnya bak jaring laba - laba
Keriting di ujung bak gula - gula
Merah bibirnya bak mawar merekah
Jelita wajahnya ayu nian
Bergetar tubuhku saat suaranya berkumandang
Elok bentuknya bak cello dari Wina
Tapi hanya satu hal yang kutahu
Dea namanya

Tidak ada komentar: